Home » » Sejarah "Restorative justice"

Sejarah "Restorative justice"


SEJARAH  “ RESTORATIVE JUSTICE” 


Menurut  Eriyantouw Wahid (2009 : 7-15) :
Agar lebih memahami gambaran umum tentang keadilan restoratif, berikut disampaikan uraian keadilan restoratif dalam konteks sejarah. Menurut pakar Australia John Braithwaite, sepanjang sejarah umat manusia, keadilan restoratif menjadi model peradilan pidana yang dominan. Hakikatnya, keadilan restoratif merupakan tawaran untuk kembali ke sistem peradilan yang relatif belum lama kehilangan perannya, akibat terus menerus diintervensi negara dan kelompok kepentingan yang berpengaruh (sebagaimana dikutip oleh Greg Mantle, Daniel Fox, dan Mandeep K. Dhami, “Restorative Justice and The Three Individual Theories of Crimes”, Internet Journal of Criminology (2005) , hlm 7).

Code of Ur-Nammu
Bicara tentang kerugian korban yang harus dibayar pelaku kejahatan, keadilan restoratif sudah mengenalnya sejak 40 abad lalu. Dalam Code of Ur-Nammu, Kitab Hukum tertua yang ditulis sekitar tahun 2000 SM di Sumeria misalnya, ditemukan kewajiban membayar ganti rugi kepada korban kejahatan kekerasan. Pembayaran ganti kerugian sebagai sanksi atas kejahatan harta benda ditemukan pula dalam Code of Hammurabi yang diperkirakan ditulis tahun 1700 SM di Babylon. Berikutnya, hukum Romawi mewajibkan pencuri membayar dua kali nilai objeknya. Norma tersebut termasuk yang ditorehkan tahun 449 pada dua belas “lempeng” gading yang dikenal sebagai “Selusin Prasasti” (Twelve Tables).

Di Era Masehi, ganti rugi dalam kejahatan dengan atau tanpa kekerasan, diperintahkan Raja Clovis dengan undang-undang di Jerman tahun 496. Sedangkan Hukum Brehon ( Brehon Law) yang ditulis pertama kali di jaman Irlandia Kuno, menjelaskan , ganti kerugian adalah cara membayar kerugian akibat segala macam kejahatan (sekitar 600-900). Ganti kerugian yang lebih rinci ditulis sekitar tahun 600 dalam Undang-undang Ethelbert of Kent, di Inggris Pasca penyerangan Normandia ke Inggris , keadilan retributif (retributive justice) yang bersifat pembalasan menggeser keadilan restoratif . Kejahatan menjadi pelanggaran terhadap raja, bukan lagi terhadap individu. Menurut undang-undang Raja Henry (misalnya, kejahatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap “kedamaian raja” (King’s peace) , kurang lebih sama dengn pelanggaran ketertiban di zaman sekarang.

Agama-agama dari Timur Tengah dan kemudian berkembang di muka bumi melalui Alquran, Injil dan Taurat, ternyata menerapkan keadilan restoratif.

Islam misalnya mengenal ishlah, yang tujuannya seperti dalam keadilan restoratif. Melalui mediasi, pihak-pihak yang berkepentingan dipertemukan untuk rukun kembali. Kata ishlah yang banyak ditemukan dalam Alquran, mengacu bukan pada sikap rohaniah belaka, melainkan juga pada tindakan yang realistis untuk rekonsiliasi demi kemaslahatan umum. Adapun dasar terwujudnya ishlah adalah memberi maaf.  Sesama mukmin yang bersengketa wajib berishlah karena mereka itu bersaudara (Al-Hujurat : 10).  

Para pemeluk Kristiani, mengenal kisah Zakeus, penarik pajak yang curang dan kemudian bertobat di hadapan Yesus, mau mengembalikan hasil kejahatannya senilai 4 kali lipat kepada semua korban. Separuh hartanya bahkan dibagi-bagikan kepada kaum papa. Pada hakikatnya, menurut Hakim Cherie Booth dari Inggris, serangkaian kunjungan Zakeus kepada para korban dalam rangka mengembalikan hasil kejahatannya merefleksikan Injil, yang menerapkan keadilan restoratif demi shalom yang bermakna keadilan (justice).
(Pentateuch)

Menurut Yudaisme, Pentateuch (limaBuku pertama Taurat) ditulis Musa melalui proses wahyu dengan merinci ganti kerugian untuk kejahatan terhadap harta.

Demikian juga, Hinduisme, Buddhisme dan Konfusianisme serta pelbagai  kepercayaan mengenal asas keadilan restoratif. Dalam memuja Sang Maha Bijaksana kebanyakan agama mengenal kosakata , =”misteri”, “kemuliaan”, “penuh sayang”, “pengertian”, “maaf”, “sabar”, “damai”, dan “adil”. Kosa kata yang sama menjelaskan mengapa para pemeluk agama dan kepercayaan memegang teguh konsep keadilan restoratif. Norma-norma emas tentang keadilan dan penyembuhan dan tentang pentingnya partisipasi serta dukungan komunitas telah ditorehkan sang waktu dalam pelbagai ungkapan kerohanian insani.

Sementara itu, praktik-praktik restoratif sudah melembaga lebih dari lima abad di lingkungan peradilan pelbagai suku di Amerika, Afrika, Australia, dan Asia-Pasifik. Sejumlah antropolog hukum melakukan studi dan penulisan keadilan restoratif pada kehidupan suku-suku tadi sejak dua ratusan terakhir tanpa mengenal istilah “keadilan restoratif:, karena istilah tersebut baru tercipta sekitar lebih dari tiga dekade lalu. 

Kemudian , di pertengahan abad yang baru lalu, keadilan restoratif mulai dibicarakan orang. Pelbgai kelompok masyarakat di Kanada, Amerika Serikat, New Zealand, Australia dan Inggris membuat beberapa program keadilan restoratif diikuti  dengan praktik-praktik restoratif. Semua berawal dari peristiwa vandalisme yang dilakukan dua orang pemuda yang asyik mabuk-mabukan di kota kecil Elmira, dekat kota kembar Kitchener-Waterloo. Provinsi Ontario, Knada (1974). Dengan sangat berhasil, kasusnya diproses melalui kunjungan pelaku  kepada kedua puluh dua korbannya. Pertemuan dimaksud menjadi cikal-bakal (prototype) “mediasi korban-pelaku” (victim-offender mediation) yang kemudian menyebar bukan hanya ke seluruh Kanada, melainkan ke seantero dunia. Lambat laun, penerapannya pun tidak terbatas pada kasus-kasus ringan , tetapi diperluas mencakup penyelesaian yang berat, seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.

Beberapa negara maju, malahan melembagakan pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana. 

Keadilan restoratif di New Zealand misalnya, yang semula dipraktikkan dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam pengadilan orang dewasa . Maka New Zealand pun menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam pengadilan umum (2002), bahkan mencakup kejahatan yang berat=berat. Begitu pula di Belgia, setelah dilembagakan ke dlam KUHAP (2005), keadilan restoratif terwujud dalam “mediation penal” . Yang berkepentingan boleh memohon pengadilan anak-anak maupun pengadilan umum untuk suatu  mediasi perkara pidana dari yang teringan hingga yang terberat. Adapun di Spanyol korban kini memainkan peran yang penting dan leboh besar dalam sistem peradilan pidana yang berbau restoratif. Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti kerugian sederhana, lingkupnya kemudian diperluas.

Dari pelbagai pengamatan dan kepustakaan, di setiap akhir acara mediasi mlalui proses restoratif, semua pihak merasa puas dan lega dan hubungan di antara mereka menjadi puli. Hasil demikian jarang diperoleh melalui sistem peradilan pidana yang konvensional. Setiap kali asas-asas keadilan restoratif diterapkan , kedudukan korban sangat diperhatikan. Luka jiwanya pun cepat atau lambat dapat disembuhkan. Tak ada dendam yang tertanam dalam hati para korban. Di lain pihak, pelaku dapat mengetahui dampak perbuatannya. Dengan dibantu dalam menemukan cara bertanggungjawab dan cara memulihkan kerugian korban dan komunitasnya, akhirnya pelaku dapat diterima kembali di komunitasnya sebagai warga yang baik dan jera untuk berbuat jahat kembali. Di samping itu hasil kesepakatan pertemuan-pertemuan praktik restoratif, umumnya dapat memengaruhi hakim sewaktu memilih sanksi pidana yang lebih ringan dan lebih singkat (short prison sentence). Bahkan sering hakim hanya menjatuhkan sanksi pidana non penjara, atau tindakan-tindakan (measures) lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan penyebaran keadilan restoratif mendapat dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa . Dalam Kongres Lima Tahunnya yang ke-5 (Genewa, 1975) , PBB mulai menaruh perhatian terhadap ganti kerugian bagi korban kejahatan, sebagai alternatif bagi peradilan pidana retributif. Satu dekade berikutnya , Badan Dunia ini melangkah lebih jauh lagi dan secara konkret melindungi dan menegakkan hak-hak para korban melalui beberapa instrumen internasional dan ketentuan implementasinya . Puncaknya terjadi dalam Kongres PBB Lima Tahunan ke-11  (Bangkok, 2005), di mana secara eksplisit, keadilan restoratif untuk pertma kali disebut dalam salah satu topiknya:” Meningkatkan Reformasi Peradilan Pidana, Termasuk Keadilan Restoratif”.

Ini menjadi pertanda , PBB mengakui kedudukan keadilan restoratif bukan lagi berada di pinggiran sistem (in the margin of the system), melainkan sudah seimbang dan peranannya tidak lagi sekadar berhadapan (vis a’ vis) , tetapi sudah komplementer dan bergandengan tangan (in juxtaposition) dengan proses pidana konvensional . Situasi demikian lebih terkondisi lagi di tahun 2007 dengan diterbitkannya Handbook on Rstorative Justice Programmes , sebagai Buku Pegangan negara-negara anggota PBB dalam menerapkan dan menyelenggarakan program keadilan restoratif. Menurut Joshua Wachtel, Buku Pegangan ini menjadi jaminan bahwa perkembangan keadilan restoratif selama tiga dekade terakhir tidak akan surut atau menjadi sirna ditelan zaman. Mudah ditebak, Buku Pegangan tersebut terutama diperuntukkan bagi negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, di mana keadilan restoratif masih relatif muda.  (Adapu  penyusun naskah Buku Pegangan itu adalah Yvon Dandurand dan Curt T. Griffits, adalah Guru Besar dari Kanada, masing-masing dari University College of the Fraser Valley dan Simon Fraser University . Setelah diedarkan ke pelbagai negara, naskah ditinjau ulang oleh sebuah Expert Group yang terdiri dari antara lain para penalist Afrika Selatan, Amerika Serikat, Austria , Belgia, Costa Rica, Inggris, Libanon dan Thailand, UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York : United Nation, 2006). Bandingkan Joshua Wachtel, “United Nations Releases ‘Handbook of Restorative Justice Programmes”.
Di Thailand misalnya, yang pernah menjadi tuan rumah Kongres PBB Lima Tahunan ke-11, konsep restorative justice baru saja diadaptasi dengan sebutan justice for social harmony. Stimulusnya adalah kekecewaan yang sudah begitu terakumulasi terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributif. Lagipula menurut Kittipong Kittayarak, pelanggaran pidana kecil-kecilan di beberapa kawasan di Thailand sampai sekarang sering diselesaikan oleh musyawarah desa. Akhirnya melalui legislasi, perkara anak-anak dengan ancaman pidana di bawah 5 tahun harus diselesaikan dalam mediasi keluarga di mana dilibatkan korbannya, keluarganya, polisi penyidiknya dan jaksa . Belakangan bahkan berkembang praktik di mana tersangka dewasa pun, dalam tindak pidana tertentu, diperbolehkan mngikuti mediasi semacam itu.

Akhirnya Eriyantouw Wahid ( halaman 14-15 mengemukakan bahwa :
Sebenarnya, bukan tidak pernah ada kekuatiran pada perkembangan keadilan restoratif di dunia. Kalangan akademisi misalnya, mengkuatirkan, asas proporsional dalam penjatuhan sanksi dan asas perlakuan yang sama sudah dikerdilkan maknanya. Padahal, bobot beratnya pidana harus mencerminkan bobot beratnya tindak pidana. Sementara itu, para korban dan penasihat hukumnya menyuarakan kekuatiran,  bahwa keadilan restoratif akan disalahgunakan, sehingga akan gagal mengutuk dan mencegah kjahatan yang berat-berat. Juga dikuatirkan program-programnya akan didominasi kelompok LSM yang misi utamanya membantu para pelaku untuk direhabilitasi dan diintegrasikan ke dalam komunitasnya. Sementara dana buat pelayanan para korban mungkin tersedot oleh program keadilan restoratif yang kurang penting.

Walaupun begitu, PBB melalui badan-badan dan komisi-komisi terkait,  terus memupuk dan menyuburkan praktik dan program keadilan restoratif dengan memberi stimulus kepada para pendukungnya di pelbagai belahan dunia untuk terus melakukan evaluasi dan penelitian baru. Sejalan dengan itu, praktik atau program keadilan restoratif semakin menyebar dan bertumbuhan di pelbagai negara berkembang.  


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KLIK!! BELAJAR HUKUM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger