Home » » Psikologi Hukum (Realisme dan Psikologi Hukum)

Psikologi Hukum (Realisme dan Psikologi Hukum)

Realisme dan Psikologi Hukum

Menurut Constanzo (2006 : 6):
“Selama dua dekade setelah the Brandeis Brief  itu, sistem hukum hanya menunjukkan sedikit minat pada ilmu sosial. Lalu, pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an, gerakan “Legal Realism” (realisme hukum) membangkitkan kembali energi bidang ilmu sosial dan hukum yang seolah mengalami tidur panjang. Para realis hukum bereaksi melawan kemapanan yang diwakili oleh “hukum alam”. Menurut para pendukung hukum alam, keputusan pengadilan dianggap mencerminkan prinsip-prinsip yang ada di dalam alam. Tugas hakim adalah menarik kesimpulan - melalui logika yang cermat - berupa keputusan tunggal yang tepat untuk kasus tertentu. Sebaliknya, kaum realis percaya bahwa para hakim mestinya secara aktif membangun hukum melalui interprestasinya terhadap bukti-bukti dan preseden. Selain itu, konstruksi hukum ini memiliki sasaran kebijakan sosial tertentu. Didalam salah satu kritik pertamanya terhadap jurisprudensi (ilmu hukum) klasi, Oliver Wendell Holmes menulis bahwa hukum:

.... tidak dapat diperlakukan sebagai suatu yang hanya mengandung aksioma-aksioma dan dalil-dalil matematis... Pertimbangan yang paling jarang disebutkan oleh para hakim, dan selalu dikemukakan dengan apologi, adalah akar terdalam dimana hukum mengambil semua saripati kehidupan. Yang penulis maksud adalah pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat. Setiap prinsip penting yang dikembangakan melalui proses pengadilan terletak didalam fakta dan didasarkan hasil pandangan mengenai kebijakan publik yang sedikit banyak dipahami dengan pasti (Holmes, 1881:2-3).

Ide itu dapat dianggap revolusioner pada masa itu. Holmes dan para sarjana hukum lainnya berpendapat bahwa hukum bukan semata-mata peraturan dan preseden hukum adalah sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan kebijakan. Para realis hukum berpendapat kenteks sosial dan efek sosial hukum sama pentingnya dengan penerapan logika mekanis. Para sarjana realis berusaha melihat apa yang ada di balik ‘fiksi hukum’, formalisme dan simbol-simbol untuk menelaah perilaku aktual para pengacara dan hakim.

Dalam perkembangannya, yang intinya adalah “The Idiosyncracy wing” diwakili oleh eksponen realisme seperti: Frank dan Hutcheson, dan yang focus kajiannya hanya terbatas tentang perilaku pengadilan dan perilaku hakim, termasuk upaya untuk memprediksikannya, melahirkan kajian empiris baru terhadap hukum, mengikuti dua kakak-kandungnya, yang juga terlahir dari Realisme, tetapi “The Sociological wing”, yaitu Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum.

Seperti yang telah penulis kutip dan Contanzo diatas, dapat penulis tambahkan sendiri bahwa sebenarnya Oliver Wendell Holmes, tokoh utama Realisme Amerika yang ajarannya sehingga menurut penulis, layak kita anggap bukan saja sebagai “The Founding Father of Legal Realism”, melainkan juga adalah “The Founding Father of Psychology in Court”, dengan kalimatnya yang terkenal (dalam The Common Law, 1881) :

“The life of the law has not been logic: it has been experience. The felt necesseties of the time, the prevalent moral and political theories, intuitions of public policy, avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow-men, have had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed. The law embodies the story of nation’s development through many centuries, and it cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics. In order to know what it is, we must know what it has been, and what tends to become. We must alternately consult history and existing theories of legislation. But the most difficult labor will be to understand the combination of the two into new products at every stage. The substance of the law at any given timen pretty nearly corresponds, so far as it goes, with what it then understood to be convenient; but its form and machinery and the defree to which it is able to work out desired results, depend every much upon its past..”.

Yang paling penting dari pernyataan Holmes diatas adalah bahawa kehidupan hukum bukanlah logika, melainkan pengalaman, dan sebagaimana kita telah ketahui bahwa fokus utama Psikologi Hukum memang memandang hukum sebagai pengalaman, yang merupakan akumulasi yang kemudian mewujudkan perilaku hukum.

Oliver Wendell Holmes menyakini bahwa, kehidupan hukum memang bukan sekedar logika (normatif), melainkan adalah pengalaman. Kebutuhan yang dirasakan oleh masa, moral hukum dan teori-teori politik, intuisi-intuisi tentang kebijakan publik, baik yang nyata maupun yang berada dialam bawah sadar, sikap “prejudices’ para hakim yang manusiawi sifatnya, lebih berpengaruh ketimbang logika silogisme yang ditentukan oleh aturan-aturan dimana manusia diatur. Hukum merupakan perwujudan dari kisah panjang perkembangan suatu bangsa selama berabad-abad dan hukum tidak mampu diterapkan jika dia hanya memuat sekedar aksioma-aksioma dan korolaris-korolaris dari sepotong buku matematika. Untuk memahami apa hukum itu, kita harus mengatahui “what it has been”, dan juga dia cenderung untuk menjadi apa. Kita harus menggantikannya dengan pengkajian sejarah dan teori-teori legislasi yang eksis. Tetapi tugas yang paling sulit adalah untuk memahami kombinasi dari keduanya menjadi produk baru dalam setiap tahap. Substansi hukum pada setiap waktu tertentu memiliki kemiripan dan hubungan, ‘so far as it goes’ dan dengan itu lalu dapat dimengerti secara baik; tetapi agar bentuk dan mesinnya serta derajat terhadap mana hukum mampu untuk menyusun hasil-hasil yang diinginkan, bergantung sangat banyak pada masa lalunya.

Menurut Constanzo (2006: 7):

“Gerakan kaum realis adalah contoh awal pengaruh psikologi terhadap hukum. Dua orang psychologist-philosopher terkemuka saat itu - William James dan John Dewey - memperjuangkan ide-ide pragmatisme, induksi, dan pendekatan-pendekatan ilmiah di dalam kajian isu-isu sosial. Para realis hukum menangkap ide bahwa hukum dibutuhkan untuk secara pramatis mendukung kebaikan bersama dan memanfaatkan penelitian ilmu sosial. Pada tahun 1931, Karl Llwellyn seorang pemimpin gerakan realis, menyebutkan beberapa prinsip pokok: (1) karena masyarakat selalu berfluktuasi dengan lebih cepat dibanding hukum, maka hukum senantiasa diperiksa kembali untuk memastikan bahwa ia dapat melayani masyarakatnya dengan baik; (2) hukum adalah ‘sarana untuk mencapai tujuan sosial dan bukan tujuan itu sendiri’ dan (3) hukum harus dievaluasi efek-efeknya (Llwellyn, H.72). Rekonseptualisasi realisme terhadap hukum merupakan sukses besar. Prinsip-prinsip fundamental Llewellyn saat ini diterima nyaris secara universal dikalangan masyarakat hukum.

Meskipun kaum realis menggerakkan revolusi pada cara berpikir mengenai fungsi-fungsi hukum, tetapi usaha gerakan itu untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian jauh kurang berhasil. Anehnya, hampir tidak ada realis hukum yang berkolaborasi dengan psikolog atau ilmuan sosial lainnya. Antusiasme realis hukum lebih didasarkan pada asumsi naif tentang sifat ilmu psikologi. Setelah tahun 1930-an, kegunaan ilmu sosial mulai jelas terlihat. Menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan psikologis terbukti lebih kompleks dan lebih sulit dibanding anggapan kaum realis. Yang lebih buruk, jawaban-jawaban yang diberikan oleh ilmuan sosial cenderung kurang tegas dan probabilistik. Kekecewaan dan keterpisahan itu terjadi selama lebih dari satu dekade”.

Dalam perkembangan lebih lanjut, Psikologi Hukum (‘Legal Psychology’) semakin berkembang karena sedemikian luas objek kajiannya dan melahirkan bidang-bidang baru seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya yaitu : Psychology of Law, Psychology in Law, Psychology and Law, Psychology in Court (Forensic Psychology), Criminal Psychology dan Neuro Science Psychology.

Perkembangan Psikologi Hukum sangat pesat walau baru berusia sekitar 30 tahunan sejak menjadi disiplin ilmu mandiri, bahkan melahirkan lagi banyak sub-sub kajian Psikologi Hukum yang termuktahir, antara lain Criminal Psychology, yang subjek bahasannya tidak identik dengan kriminologi dan oleh karena itu jangan diidentikkan.

Pada sampul buku karya Geoffrey M. Stephenson (“The Psychology of Criminal Justice”, 2007), dijelaskan tentang apa yang dikaji oleh Psikologi Kriminal itu, sebagai berikut :

“The Psychology of Criminal Justice integrates aspects of psychology’s contributions to criminologu amd to socio-legal studies within a single narrative framework. mlt does this by describing the interpersonal and group dynamics of decision-making at key stages in the processing of accused persons from the time an alleged offence is committed to the moment sentence is passed.

The book bears directly on many current critical debates conserning the ability of the criminal justice system to deliver reliable verdicts. It recognizes the interdependence of decision makes in the system and addresses questions at an appropriately social-psychological level. The book examines systematically and critically the dynamics of criminal decision-making, the response of victims, the conduct of court proceedings, the performance of witnesses, the strengths and weaknesses of juries, and the sentencing of magistrates and judges. Disicussions of law and morality, the attribution of blame in Court and in everyday life, and the achievement of justice in interpersonal and organizational contexts, provide a definitive account of the social psychology of law in the context of criminal justice.

Problems with our adversarial system of justice have led to the establishment of a Royal Commission on Criminal Justice. It is commonplace to seek a scapegoat in the behavior of one or other protagonist in the system --- especially the police. It will become clear to readers of this book that breakdowns of the system are a product of pervasive interpersonal and intergroup processes of organization, reaching well beyond the behavior of any one agent”.

Jadi Psikologi tentang Peradilan Pidana mengintegasikan aspek-aspek psikologi yang disumbangkan baik kepada kriminologi maupun kepada kajian-kajian ‘socio-legal’ didalam suatu kerangka naratif yang tunggal. Kontribusi tersebut dilakukan oleh Psikologi Hukum dengan cara menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci didalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen menjatuhkan pidana.

Dalam buku karya Geoffrey M. Stephenson[1] yang melahirkan secara langsung sejumlah debat mutakhir yang bersifat kritis mengenai kemampuan pembuatan putusan didalam sistem hukum pidana dan sejumlah pertanyaan yang ditujukan pada suatu level psikologi sosial yang cocok. Bukunya menguji secara sistematis dan kritis terhadap dinamika-dinamika yang berlangsung dalam pembuatan putusan dalam proses perkara pidana; juga terhadap respons para korban; terhadap asumsi-asumsi, sikap dan perilaku aparat kepolisian, perilaku aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana, penampilan saksi mata, kelemahan dan kelebihan juri (kalau di Indonesia tidak menggunakan juri, dalam hal ini hakim) dan putusan hakim. Juga memuat diskusi tentang hukum dan moralitas, menghubungkan kesalahan-kesalahan yang terjadi di Pengadilan dan dengan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, serta pencapaian keadilan, baik dalam konteks interpersonal maupun dalam konteks organisasi; menyediakan suatu perhitungan definitif tentang psikologi sosial tentang hukum dalam konteks proses peradilan pidana.

Masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem peradilan yang menghadapkan para pihak sebagai dua pihak yang berlawanan secara antagonis yang dianut dalam sitem peradilan Common Law, telah membawa pada  pembentukan “a Royal Commission on Criminal Justice”. Adalah merupakan kejadian sehari-hari untuk menemukan suatu “kambing hitam” dalam perilaku seseorang atau pelaku utama dalam sistem peradilan pidana, khususnya yang paling sering menjadi ‘kambing hitam’ adalah aparat polisi.



[1]Geoffrey M. Stephenson, The Psychology of Criminal Justice, Wiley - Blackwell, 2007
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KLIK!! BELAJAR HUKUM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger