Home » » Psikologi Hukum (Karaktaristik Yuridis - Normatif Kebebasan Hakim)

Psikologi Hukum (Karaktaristik Yuridis - Normatif Kebebasan Hakim)

Karakteristik Yuridis – Normatif Kebebasan Hakim

Sebelum kita mengkaji proses lahirnya putusan hakim dari sudut pandang empiris, khususnya Psikologi Hukum, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan karakteristik profesi hukum dari sudut pandang normatif berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Kita mengetahui bahwa hakim dalam mengadili dan memutus perkara adalah otonom. Dalam artian, hakim tidak seperti unsur penegak hukum lain yang mempunyai atasan dalam menentukan kebijakan. Setiap hakim, termasuk hakim agung memang secara struktur administrasi mempunyai atasan. Sebagai contoh, para hakim Pengadilan Negeri atau peradilan tingkat pertama lainnya, atasannya adalah ketua pengadilan mereka, selanjutnya berjenjang ke Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Namun demikian, dalam memutus perkara, hakim dalam jenjang yang paling rendahpun otonom dalam menentukan sikap dan putusannya. Bahkan dalam sebuah majelis yang mempunyai ketua majelis, para hakim anggota tidak harus sependapat baik sesama anggota majelis maupun dengan ketua majelis. Hal ini dinamakan ‘dissenting opinion’, atau pendapat berbeda dari hakim yang jumlahnya minoritas, dimana meskipun kalah dalam penentuan putusan akhir oleh hakim mayoritas tetapi pertimbangan atau argumentasinya yang berbeda itu, tetap harus dicantumkan dalam putusan.

Setiap hakim mempunyai kebebasan dalam mengadili dan memutus yang merupakan asas universal, baik di negara-negara lain maupun di Indonesia ditegaskan antara lain dalam :

1. Hans Kelsen jauh-jauh hari telah menegaskan bahwa salah satu elemen utama untuk suatu negara hukum, adalah adanya ‘peradilan yang bebas’.

2.  Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menentukan : 
"Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

3. Di dalam Penjelasan Pasal 1 tersebut berbunyi :
“Kekuasaan Kehakiman yang merdeka" dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campurtangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia”.

4.  Penjelasan diatas dipertegas lagi oleh Pasal 5 (1):

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

5.  Penjelasan Pasal 5 (1):

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Setiap persidangan pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali dalam pemeriksaan tertentu misalnya dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kesusilaan atau seksual untuk session tertentu persidangan dinyatakan tertutup, tetapi kemudian dinyatakan kembali terbuka untuk umum. Setiap putusan hakim harus dibacakan secara terbuka dan bersifat terbuka untuk umum, sehingga menjadi hak publik untuk mengetahui secara lengkap isi putusan hakim. Pengucapan vonis hakim secara terbuka untuk umum itu sekaligus merupakan pertanggungjawaban hakim kepada publik maupun pada dunia hukum. Di dalam setiap putusan hakim, harus memuat pertimbangan hakim, baik mengenai fakta maupun hukum. Di dalam bagian pertimbangan itulah, kita dapat memahami, argumentasi hakim sehingga tiba pada putusannya. Ketentuan tentang persidangan terbuka untuk umum dan bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, secara kewajiban setiap hakim memberikan pendapatnya secara mandiri sebelum penentuan putusan (diperbolehkannya ‘dissenting opinion’), di tentukan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :

Pasal 13:

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2)  Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3)  Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal 15 :

(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.

(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

J. A Pontier mengatakan, pengucapan vonis dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang didalamnya ‘motivering’ dari putusan itu dicantumkan, in optima forma memberi kemungkinan untuk mengkaji bagaimana hakim mempertanggungjawabkan vonisnya.

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hal itu ditentukan dalam Pasal 50 (1) :

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Kebebasan hakim yang bersifat luas mempunyai berbagai konsekuensi yang berhubungan dengan :

a.    pada saat sang hakim mengambil putusan, serta

b.    problem-problem yang muncul pada saat sang hakim menetapkan fakta-fakta serta;

c.    juga pada saat sang hakim menginterpretasikan serta menerapkan hukum, dan

d.    pengaruh pribadi hakim;

Dari pengaruh pribadi sang hakim, tentu saja mengundang munculnya risiko yang membahayakan karena dapat menimbulkan kebebasan yang sewenang-wenang ataupun kesalahan dalam penerapan hukum, meskipun di dalam realitasnya, dari pendekatan empiris, khususnya psikologi hukum, pengaruh pribadi hakim merupakan sesuatu hal yang mustahil terhindarkan. Namun demikian, untuk mencegah kesewenangan-wenangan, pembuat undang-undang memang telah mengatisipasi sebelumnya, sebagian dari kemungkinan munculnya risiko yang membahayakan praktik hukum tersebut, dengan berbagai pengaturan keterbatasan pengaturan hukum acara tetap tidak mampu mengakomodasi seluruh pencegahan munculnya kesewenang-wenangan ataupun kesalahan dalam penerapan hukum, akibat diberikannya kebebasan bagi para hakim tersebut.

Hukum acara dalam batas tertentu telah memberikan beberapa upaya dan jaminan pencegahan terhadap risiko-risiko munculnya praktik kesewenang-wenangan maupun kesalahan dalam penerapan hukum, dalam menilai dan menginterpretasikan fakta-fakta maupun alat bukti, seperti antara lain:

a. Telah disediakannya upaya hukum biasa, banding dan kasasi, maupun upaya hukum luarbiasa yaitu Peninjauan Kembali,

b. Pemeriksaan peradilan dengan majelis hakim (coliegiale rechtsprak),

c. Kemungkinan ‘dissenting opinion’ dari hakim minoritas,

d. Juga kemungkinan penolakan dari hakim-hakim secara individual, dalam keadaan-keadaan yang didalamnya, imparsialitas hakim dapat dirugikan,
e. Adanya hak melakukan pengaduan berkenan dengan perilaku buruk anggota-anggota lembaga kekuasaan kehakiman, baik ke Komisi Ombudsman maupun ke Komisi Yudisial.

Seperti yang telah penulis uraikan diatas, antisipasi hukum acara tetap tidak mampu mencakup keseluruhan kemungkinan timbulnya penyalahgunaan kebebasan hakim tersebut.

Khusus untuk butir “a” diatas, pengaturannya dalam hukum positif Indonesia, adalah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hal itu ditentukan dalam :

Pasal 26

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 23

Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 24

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Yang dimaksud dengan ‘hal atau keadaan tertentu’ pada pasal diatas antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

Selain yang telah penulis uraikan di atas, maka pembatasan kebebasan hakim dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan dalam Pasal 17 :

(1)  Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

(2)  Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3)  Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4)  Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(7)  Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

Penjelasan ayat (5) dan (7) :

Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.

Yang dimaksud dengan “berbeda” dalam ketentuan ini adalah majelis hakim yang tidak terikat dengan ketentuan pada ayat (5).
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KLIK!! BELAJAR HUKUM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger