PROFIL HAKIM
Institusi peradilan memiliki posisi yang strategis dan sangat penting bagi bangunan suatu negara hukum. Karena itu kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan institusi peradilan ini selaku memiliki kedudukan yang kuat dalam konstitusi suatu negara. Dalam konstitusi Indonesia, berdasarkan Amandemen ke IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 dijelaskan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan Kehakiman ini kemudian di jalankan oleh pertama Mahakamah Agung beserta badan peradilan yang di bawahnya yaitu Peradilan umum, Peradilan agama, Peradilan militer dan peradilan TUN dan kedua oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman yang dijalankan oleh keempat badan peradilan ini kemudian secara lebih rinci diatur melalui suatu undang-undang.
Kekuasaan Kehakiman baik yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, Peradilan umum, Peradilan agama, Peradilan tata usaha negara, dan Peradilan militer in dijalankan secara mandiri mengenai urusan keuangan, kepegawaian, dan lain-lain tanpa campur tangan Pemerintah kecuali mengenai hal-hal yang ditetapkan dalam suatu undang-undang. Kriteria Kekuasaan Kehakiman yang independen ini meliputi kemandirian personal (personal judicial independence), kemandirian substansial (substantive judicial independence) dan kemandirian internal serta kemandirian kelembagaan (institutional judicial independence)[1].
Kemandirian substantif adalah kemandirian di dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Sedangkan kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara yang sedang diperiksa. Dan kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekrutmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
Sistem peradilan yang independen, tidak memihak dan mampu memainkan peranan penting sebagai bagian dari system peradilan yang mengupayakan penegakkan hukum dan keadilan. Peradilan harus bebas dari pengaruh manapun jika ingin memainkan peranannya secara independen. (Jeremy Pope, 2007: 120).
Fungsi pengadilan diperankan oleh sekumpulan hakim-hakim yang berdasarkan undang-undang adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman, sekaligus tokoh sentral yang bertanggungjawab memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Mengingat strategisnya posisi hakim dalam pengadilan sebagaimana dikutip dalam (Sulistiyono, 2008), R. Dworkin menyatakan bahwa judges are its princes of law’s empire. Sedangkan menurut J.P Dawson, hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat. Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of God”. Dalam pandangan lain, Roeslan Saleh menyebut bahwa pekerjaan hakim merupakan pergulatan melawan kemanusiaan[1].
Demikian luhurnya misi yang diemban oleh hakim, sehingga konstitusi khususnya pada pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti pada UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14/1985 jo UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung meletakkan dasar hukum yang kuat berkaitan dengan kemandirian hakim. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara khusus pada bab IV mengatur secara khusus mengenai Hakim dan kewajibannya serta kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa Hakim memiliki kedudukan sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Dalam kedudukannya tersebut, Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Bila dilihat dari perspektif sistem peradilan Indonesia maka hakim merupakan pemegang kekuasaan kehakiman di Pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara baik perkara pidana, perkara perdata, perkara TUN, militer dan agama yang diajukan kepadanya. Dalam ruang lingkup tugas mengadili tersebut maka Hakim dituntut untuk memiliki kemampuan dan kecakapan dalam dirinya terhadap penguasaan hukum formal (hukum acara pidana/hukum acara perdata) maupun hukum materiil (hukum pidana materiil/hukum perdata materiil).
Selain kemampuan dan kecakapan tersebut di atas, seorang Hakim juga harus memiliki idealisme sebagai seorang pemberi keadilan. Terhadap sikap ini, mengutip Mulyadi (2010) menjelaskan pandangan Djoko Soetono dan Maurice Rosenberg dalam mendeskripsikan sifat/sikap idealistic yang harus dimiliki oleh seorang Hakim. Djoko Soetono sebagaimana yang diungkapkan Mulyadi (2010) menyebutkan bahwa seornag Hakim harus memiliki sifat/sikap idealistic meliputi: (1) berpikir secara ilmiah : logis, sistematis, tertib ; (2) Sabda Pandita Ratu : putusannya harus bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis; (3) maton = punctual + correct ; (4) berpikir secara integralistik (manunggal), partisipatif, menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ; (5) tidak lekas puas : haus akan ilmu dan pengalaman; (6) Ksatrya Pinandita : Sarjana – Sujana – Susilis. Sedangkan Maurice Rosenberg menyebutkan bahwa sifat/sikap seorang Hakim setidaknya harus memiliki: (1) moral courage : pray for God’s guidance; (2) decisiveness : punctual + correct ; (3) fair + upright ; (4) patience : able to listen with mauth closed + mind open; (5) healthy: physical mental + mental: (6) consideration for others : kind + understanding; (7) wise + experienced: in supervision of subordinates; (8) industrious, serious, not lazy : no unimportant cases; (9) professional : neat personal appearance; (10) dignity : honorable/divine job; (11) dedicated, devonation as a lifetime job; (12) loyal to the courts/judiciary; (13) active in work and professional associations; (14) knowledge of community + resources: guidance of society; (15) sense of humor (not deppresive); (16) above average law school record; (17) above average reputation for professional ability; (18) good family situation.
Dalam realitasnya saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa upaya membangun wujud integritas pada profesi hakim menjadi tantangan terbesar bagi para hakim sendiri. Sejumlah survey publik memperlihatkan bahwa persepsi terkait dengan integritas hakim masih belum memenuhi harapan. Survey Transparancy International pada tahun 2009 misalnya menempatkan institusi pengadilan pada urutan ke 7 dari 15 institusi dalam Indeks Suap yang disusunnya. Dalam survey Integritas Sektor Publik yang dipublikasikan oleh KPK pada tahun 2009 juga memperlihatkan realitas yang nampaknya sama bahwa persidangan perkara pidana umum, tilang dan narkotika paling rawan dihinggapi suap. Begitu pula pada survey yang dilakukan PSHK pada awal tahun 2000 juga memperlihatkan persepsi yang sama, dimana sebanyak 50,8 persen responden advokat menyatakan dirinya pernah menemui hambatan dari hakim. Dari jumlah tersebut, hambatan terbesar adalah kerapnya hakim meminta imbalan uang dan mentransaksikan putusannya (22,5 persen). Imparsialitas (keberpihakan) dalam proses peradilan ditempatkan sebagai hambatan kedua yang paling sering ditemui dengan respon sebesar 8,3 persen. Sebanyak 4,5 persen responden menunjuk pada seringnya hakim memperlambat persidangan atau menunda-nunda putusannya, sedangkan 4 persen merasakan kentalnya pengaruh kepentingan dalam putusan hakim sebagai hambatan yang tidak kalah mengganjalnya. Kualitas putusan hakim yang buruk (3,3 persen) dan sikap hakim yang arogan dan merasa paling kuasa dalam sidang pengadilan (2,8 persen) juga dinilai responden sebagai hambatan, di luar bentuk-bentuk hambatan lain seperti mempersulit advokat di persidangan, mempengaruhi klien, menahan berkas-berkas persidangan, termasuk menghambat advokat dengan izin praktek dan kebijakan penempatan. Persepsi inilah yang sementara ini melekat dalam diri Hakim yang menjadi tantangan besar untuk menjawabnya. Para Hakim muda memiliki tantangan untuk menjawab itu, sekaligus mencoba menggali dari profil dan sosok-sosok hakim pendahulunya yang dapat di jadikan patron dalam berkarir. Ada dari para Hakim senior, sosok-sosok yang dapat dijadikan refleksi diri untuk memperkuat integritas diri para Hakim muda dalam membangun institusi peradilan yang lebih bersih dan independen.
Sebagai bahan dalam merefleksikan sosik atau profil Hakim dalam mengarungi perjalanan kehidupan hakim, diuraikan sejumlah profil yang dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak untuk merenungkan kiprah Hakim dalam membangun integritas dirinya sebagai penegak keadilan. Profil ini diambil dari salah satu laporan khusus Majalah Tempo berbahasa Inggris, “A Few Good Men” yang mengulas sosok hakim, yang menurut Tempo, dapat dijadikan inspirasi dalam upaya menegakkan integritas profesi Hakim. Tempo memilih 5 Hakim yang memiliki penilaian tertinggi. Berikut dipilihkan 1 sosok (tanpa disebutkan nama) dari kelima hakim tersebut.
Kisah Hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta
Hakim ini telah bertugas selama 39 tahun. Ketika bertugas menjadi Kepala Pengadilan Tinggi Jakarta, Hakim “A” berupaya untuk menghilangkan secara sedikit demi sedikit kegiatan di PT yang berpotensi menjadi ajang pembebanan bagi para hakim dan para pegawai pengadilan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan namun sebenarnya tidak memiliki alokasi anggaran yang jelas dihilangkan. Tradisi sowan atau berkunjung ke kediaman Ketua PT pada hari raya turut menjadi tradisi yang dihilangkannya.
Dalam karirnya dibidang pengawasan Hakim, Hakim “A” telah turut berjasa merumuskan aspek teknis yang digunakan dalam pengawasan di Mahkamah Agung, Panduan Perilaku Hakim menjadi salah satu produk pemikiran yang dihasilkannya.
Secara pribadi Hakim “A” berupaya dengan sangat hati-hati dalam persoalan yang menyangkut uang. Dengan posisinya yang berkuasa sebagai Hakim, diupayakannya untuk tidak mencari kekayaan dari profesi mulia yang disandangkannya itu. Pilihan mencari tambahan pendapatan dengan mengajar pada suatu perguruan tinggi menjadi pilihan yang diambilnya.
Hal lain yang diupayakan Hakim “A”, dalam tugas-tugasnya mencoba untuk tidak mencari pendapatan tambahan yang di dapat terkait dengan tugas yang diembannya. Perjalanan dinas yang kerap menjadi sumber tambahan pendapatan, diupayakannya untuk meminimalkan pendapatan yang diperolehnya dari sumber ini.
[1]Roeslan Saleh, 1982, Peradilan sebagai Pergulatan Melawan Kemanusiaan, Jakarta: P.T. Ghalia Indonesia.
[1]Lihat di kajian reformasi reformasi kebebasan kekuasaan kehakiman ( www.reformasihukum.org)
maka terjelaskanlah, negara ini menjagokan sumber daya manusianya
BalasHapusterlepas dari hingar bingar ketertinggalannya, sejak awal negara ini mencita-citakan keBERDIKARIan SDM