Kedudukan Hakim
Sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 19 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di tegaskan
bahwa Hakim memiliki kedudukan sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim dalam pasal tersebut adalah
hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata
usaha negara serta hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut. Kemudian ketentuan dalam pasal tersebut diatas dipertegas
dalam Pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Hakim pengadilan di bawah Mahkamah
Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada badan
peradilan dibawah Mahkamah Agung.
Selain UU Kekuasaan
Kehakiman, peraturan perundangan lain yang mengatur tentang kedudukan hakim
pengadilan ini ialah pada pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dimana Hakim
ditempatkan pula sebagai bagian dari Penyelenggara Negara. Selain itu pada
ketentuan pasal 11 ayat 1 huruf d UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian juga memperkuat kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara, dimana "Pejabat Negara terdiri atas Ketua, Wakil
Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua dan
Hakim pada semua badan peradilan".
Meski kedudukannya sebagai
Pejabat Negara, tata cara pengusulan, pengangkatan dan pemberhentian hakim
sebagai pejabat negara berbeda dengan pejabat negara lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 2 UU No.8
tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara jo. Pasal 13 ayat 2 UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama disebutkan bahwa seseorang dapat
diangkat sebagai hakim apabila terlebih dahulu berkedudukan sebagai PNS Calon
Hakim yang berasal dari CPNS Calon Hakim yang selanjutnya setelah lulus
pendidikan hakim atas usul MA diangkat oleh Presiden. Hal lain yang membedakan
kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara ialah terkati dengan mekanisme pemberhentian hakim, dimana setelah
adanya perubahan atas peraturan perundangan mengenai lingkungan peradilan di
bawah MA pada tahun 2009, ketentuan yang menyatakan bahwa hakim yang
diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai
negeri telah dihapus dan dapat disimpulkan bahwa secara normatif merujuk pada
amandemen konstitusi, uu kekuasaan kehakiman serta peraturan perundangan
dibidang kepegawaian kedudukan/status kepegawaian Hakim pengadilan di bawah
Mahkamah Agung adalah sebagai Pejabat Negara. Secara praktik pun, sejak tahun
2009 hakim tidak lagi berkedudukan sebagai PNS dapat dilihat dari tidak ikut
dinaikkannya gaji pokok hakim setiap ada kenaikan gaji pokok PNS yang mana
sebelumnya setiap ada kenaikan gaji pokok PNS gaji hakim ikut disesuaikan
Sebelum memangku jabatannya,
Hakim untuk masing-masing lingkungan peradilan berdasarkan ketentuan pasal 17
ayat (1) dan (2) UU No. 4 tahun 2004,
pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 3 tahun 2006, pasal 17 UU No. 9 tahun
2004, dan pasal 22 UU No. 31 tahun 1997 wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya. Sumpah atau janji ini berbunyi
sebagai berikut:
Sumpah:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji: “Saya
berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
0 komentar:
Posting Komentar