HUKUM DAN KEADILAN
Salah satu kekeliruan terbesar jika mengidentikkan "hukum = keadilan", dan "keadilan = hukum". Sama kelirunya jika orang mengidentikkan "ilmu = kebenaran atau "kebenaran = ilmu". Sama halnya dengan konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang keadilan merupakan konsep abstrak dan bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut oleh masing-masing individu dan masyarakat. Apa yang "adil"bagi penggugat belum tentu "adil" bagi tergugat. Apa yang adil bagi korban belum tentu adil bagi pelaku kejahatan. Bahkan dalam satu Media Hakim yang terdiri dari lima hakim, maka apa yang "adil" bagi emoat hakim, belum tentu "adil" bagi seorang di antara mereka yang melakukan "dissenting opion".
Oleh karena itu, hukum tidak mungkin mewujudkan kebenaran tetapi hanya "mendekati keadilan". Ilmupun tidak mungkin mewujudkan kebenaran, tetapi hanya "mendekati keadilan". Oleh karena yang mampu mewujudkan keadilan dan kebenaran hanyalah Allah Swt.
Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental terhadap pemerintah. Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan suatu pemerintah, karena seperti yang pernah dikatakan oleh Donald Black, : Hukum adalah pengendalian sosial oleh pemerintah". Memang benar tidak semua aturan hukum dibuat oleh pemerintah (dalam arti luas yang mencakupi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi suatu aturan barulah dapat dikatakan aturan hukum jika berlakunya memperoleh legitimasi oleh suatu pemerintah. Di Indonesia contohnya, Hukum Adat yang berlaku adalah yang diakui berlakunya oleh pemerintah, demikian pula berlakunya Hukum Islam. Keduanya, baik Hukum Adat maupun Hukum Islam, bukanlah produk pemerintah, tetapi diakui sebagai aturan hukum yang berlaku, nanti setelah diakui oleh pemerintah. Di Indonesia secara konstitusional (Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 29 I ayat (3) UUD 1945) mengakui hak masyarakat adat, tetapi dengan syarat; a. sepanjang masih hidup, b. sepanjang sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan peradaban, c. sepanjang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang diatur oleh undang-undang.
Gagasan-gagasan tentang bagaimana cara yang pastas dan sah untuk mendekati sistem hukum, secara desisif (menentukan) mau tidak mau mempengaruhi bentuk-bentuk dan teknik-teknik dibentuknya banyak tuntutan tersebut. Salah satu gagasan terpenting yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum dan bekerjanya hukum, sangat mempengaruhi sikap-sikap dan perilaku tentang hukum, tidak lain adalan "gagasan tentang keadilan ('justice' dan 'fairness')". Namun demikian, didalam realitasnya, di dalam setiap masyarakat, apalagi di dalam masyarakat yang berbeda, jugaterdapat perbedaan cara-cara mereka menaksir keadilan ('justice dan fairness') tersebut. Dan tidak jarang, konsep tentang keadilan itu menjadi bias dalam masyarakat tertentu, Indonesia dewasa ini misalnya. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ayat 1 menentukan bahwa : " Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat", tetapi di dalam praktik, sering apa yang dimaksud sebagai "rasa keadilan" itu menjadi bias atau mungkin juga sengaja dibiaskan oleh pihak penegak hukum, dengan motif untuk meringankan pidana atau bahkan membebaskan seorang terdakwa yang kebetulan telah membayar sejumlah uang. Oleh karena itu, sangat tepat apa yang pernah dikemukakan oleh Hakim Agung Amerika Serikat, Justice Hugo Black (dalam David Cole, 1999) :
"There can be no equal justice where the kind of trial a man gets depends on the amount of money he has".
Jadi tidak akan mungkin ada keadilan yang sama jika di dalam proses pengadilan, sosok-sosok yang terlibat didalamnya masih bergantung pada sejumlah uang.
0 komentar:
Posting Komentar